Puitis banget…martabaknya.
Doa bapaknya yang memberi nama Gibran jadi terkabul. Puitis, pebisnis, sekaligus inovatif. Kalau Cuma puitis, mungkin
pangeran Gibran ini hanya akan mencipta sajak – sajak puitis penuh romansa nan
mendayu, tetesan intelegensia filosofis embun di patahan sayap – sayap daun. Kalau
cuma bisnis, pangeran Gibran mungkin hanya mencipta varian sayap ayam goreng
ngalahin kolonel David Sanders, atau bikin donat hibrid dengan serabi ngalahin
J.Co Doughnut.
Tapi itulah pangeran muda
Gibran…. Martabak yang bulat sempurna,
sayap kanan kiri, dan semua lini nggak boleh patah. Awalnya mesti bundar besar…,
meski pada akhirnya akan dipotong kotak – kotak , juring - juring. Atau sekarang lebih mudah, karena ada cetakan
ala martabak unyil. Pakai slogan pula..markobar!!!! Tampang dan sikapnya yang polos, lucu, adem ayem
tentrem damai, sosok ikonik, sudah
menjadi semacam iklan berjalan. Wes…bener – bener nambah daya tarik pariwisata
kuliner kota Solo, Indonesia. Gibran…biar
bukan Kahlil …tapi no nihil hasil…. U yeah…
Kemandirian dan sikap
pangeran Gibran yang tidak mau memanfaatkan fasilitas maupun kepopuleran Bapaknya yang seorang presiden RI , juga
menangguk banyak simpati. Selain membeli martabak, para pelanggan biasanya ingin
meminta tanda tangan, juga berselfie bareng pangeran Gibran. Kadang
membayangkan…kayak apa yah rasa martabaknya? Mungkin rasanya nasionalisme.
Sebagai seorang
entrepreneur sejati yang puitis inovatif, tentu pangeran Gibran akan menyukai
tantangan baru, tidak nyaman dengan kemapanan. Mungkin suatu hari nanti
pangeran Gibran akan merintis dari nol martabak markobar di Zimbabwe…biar
Indonesia makin kece.