Sabtu, 20 Februari 2016

BERAWAL DARI MAKAN



Makan untuk hidup. Hidup untuk makan pula.

Bagi masyarakat spesies akar rumput maupun akar lumut, hidup mau tak mau adalah pergulatan demi sesuap makan, sambil terus berupaya agar generasi berikutnya  lebih baik. Menjadi lumut yang merintis di batu – batu keras, atau rumput yang menyejuki bumi  tempat berpijak manusia turun temurun,  tak terlalu luhur dibandingkan menjadi bunga – bunga yang tumbuh di  layar kaca, di kantor, di istana, di tempat – tempat yang lebih berperadaban lainnya.

Masyarakat menengah ke atas, kehidupan lebih canggih dan berbudaya. Tidak melulu berkutat soal  makan. Ada kebutuhan nutrisi bagi intelektualitas mereka. Keilmuan, seni, spiritual…..berdialog, membaca, menulis, berdiskusi di buku – buku, altar akademik, mimbar,   media sosial.

Ada orang – orang yang mempunyai daya tampung selain lambung, otak, dan hati. Suatu ruang yang mampu menampung kekuasaan seluas kecamatan, kota, negara , bahkan dunia ( dalam buku sejarah, kekuasaan adalah peran mulia untuk mensejahterakan seluruh rakyat ). Untuk mencapai hal ini, salah satunya bisa diupayakan melalui ritual berat jangka panjang yang berkaitan pula dengan proses makan, meski sudah berada pada bentuk lain , yaitu anti makan : ritual puasa. Raja – raja Nusantara banyak menggunakan upaya ini disamping upaya lainnya semacam  mengasah kecerdikan dan strategi politik. Selanjutnya tidak harus selalu mengasah keris, tetapi bisa berinovasi menatah kayu menjadi kursi, sampai tiba waktunya kursi  menjadi singgasana.

Sebenarnya bisa saja duduk manis di singgasana, memantau ribuan cctv, mendengarkan nasehat para ahli, menganalisa, lalu mengatur kekuasaan. Tapi tentunya sudah bosan . Sebelum singgasana pun sudah lama duduk di kursi, dan bisa menyebabkan ambeyen pula. Belum lagi  awak media dan masyarakat kekinian yang hidup dalam bah informasi juga akan bosan. Setiap detik inginnya ada informasi  peristiwa dan tempat yang heboh, spektakuler, greget, yang tidak sama ……hasil – hasil pembangunan yang solutif kalau bisa juga tercapai dan berganti dalam tiap kejap. Tambahan rasa jenuh karena  puasa ( kalau rasa lapar, tuh sudah lewat) mempengaruhi alam bawah sadar untuk melangkahkan kaki ke mana saja, blusukan. Yang selanjutnya politik blusukan itu diakui menjadi ciri khas dan ide brilian. Dalam blusukan, ada drama dan panorama yang mengembang begitu cepat secara otomatis. Sosok Mark Zuckerbreg, Peter Greenberger, kepala suku di Papua, Sundar Pichai, pedagang klithikan, dll adalah sosok – sosok yang keren banget dalam sebuah drama. Mau mengakui atau tidak,  sebenarnya hampir semua orang menyukai drama, hanya berbeda- beda saja cara menampilkannya. Mengenyangkan bagi perjamuan blusukan, mengenyangkan dalam bincang pembahasan intelektual menengah ke atas. Pulau Komodo, pulau ladang emas, propinsi – propinsi ri, kota dari sabang sampai merauke, pasar – pasar tradisional, negara – negara tetangga, hingga Silicon Valley, Mountain View….panorama, pakeliran yang menampilkan ribuan makna.

Dalam drama dan panorama, ada pengalihan dan penundaan yang memang diperlukan. Dan secara halus dapat menghibur rasa lapar rakus masyarakat intelektual demokratis terbuka  kikinian.

Berawal dari makan. Inilah. Kinilah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar