Makan untuk hidup. Hidup untuk
makan pula.
Bagi masyarakat spesies akar
rumput maupun akar lumut, hidup mau tak mau adalah pergulatan demi sesuap makan,
sambil terus berupaya agar generasi berikutnya lebih baik. Menjadi lumut yang merintis di
batu – batu keras, atau rumput yang menyejuki bumi tempat berpijak manusia turun temurun, tak terlalu luhur dibandingkan menjadi bunga –
bunga yang tumbuh di layar kaca, di
kantor, di istana, di tempat – tempat yang lebih berperadaban lainnya.
Masyarakat menengah ke atas,
kehidupan lebih canggih dan berbudaya. Tidak melulu berkutat soal makan. Ada kebutuhan nutrisi bagi
intelektualitas mereka. Keilmuan, seni, spiritual…..berdialog, membaca, menulis,
berdiskusi di buku – buku, altar akademik, mimbar, media sosial.
Ada orang – orang yang mempunyai
daya tampung selain lambung, otak, dan hati. Suatu ruang yang mampu menampung kekuasaan
seluas kecamatan, kota, negara , bahkan dunia ( dalam buku sejarah, kekuasaan
adalah peran mulia untuk mensejahterakan seluruh rakyat ). Untuk mencapai hal
ini, salah satunya bisa diupayakan melalui ritual berat jangka panjang yang
berkaitan pula dengan proses makan, meski sudah berada pada bentuk lain , yaitu
anti makan : ritual puasa. Raja – raja Nusantara banyak menggunakan upaya ini disamping
upaya lainnya semacam mengasah
kecerdikan dan strategi politik. Selanjutnya tidak harus selalu mengasah keris,
tetapi bisa berinovasi menatah kayu menjadi kursi, sampai tiba waktunya
kursi menjadi singgasana.
Sebenarnya bisa saja duduk manis
di singgasana, memantau ribuan cctv, mendengarkan nasehat para ahli,
menganalisa, lalu mengatur kekuasaan. Tapi tentunya sudah bosan . Sebelum
singgasana pun sudah lama duduk di kursi, dan bisa menyebabkan ambeyen pula.
Belum lagi awak media dan masyarakat
kekinian yang hidup dalam bah informasi juga akan bosan. Setiap detik inginnya ada
informasi peristiwa dan tempat yang heboh,
spektakuler, greget, yang tidak sama ……hasil – hasil pembangunan yang solutif
kalau bisa juga tercapai dan berganti dalam tiap kejap. Tambahan rasa jenuh
karena puasa ( kalau rasa lapar, tuh
sudah lewat) mempengaruhi alam bawah sadar untuk melangkahkan kaki ke mana
saja, blusukan. Yang selanjutnya politik blusukan itu diakui menjadi ciri khas
dan ide brilian. Dalam blusukan, ada drama dan panorama yang mengembang begitu
cepat secara otomatis. Sosok Mark Zuckerbreg, Peter Greenberger, kepala suku di
Papua, Sundar Pichai, pedagang klithikan, dll adalah sosok – sosok yang keren
banget dalam sebuah drama. Mau mengakui atau tidak, sebenarnya hampir semua orang menyukai drama,
hanya berbeda- beda saja cara menampilkannya. Mengenyangkan bagi perjamuan
blusukan, mengenyangkan dalam bincang pembahasan intelektual menengah ke atas.
Pulau Komodo, pulau ladang emas, propinsi – propinsi ri, kota dari sabang
sampai merauke, pasar – pasar tradisional, negara – negara tetangga, hingga Silicon
Valley, Mountain View….panorama, pakeliran yang menampilkan ribuan makna.
Dalam drama dan panorama, ada
pengalihan dan penundaan yang memang diperlukan. Dan secara halus dapat
menghibur rasa lapar rakus masyarakat intelektual demokratis terbuka kikinian.
Berawal dari makan. Inilah. Kinilah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar